Antara
Ikhtiar dan Takdir
Terinspirasi oleh
Perkuliahan Prof.Dr. Marsigit, M.A
Bidang Filsafat
Ilmu
Pada hari Kamis, 16
Oktober 2014 (08.00 WIB)
Takdir adalah ketetapan Allah SWT terhadap garis hidup manusia. Percaya akan takdir
yang datangnya dari Allah merupakan sebuah kewajiban, karena telah menjadi
salah satu rukun iman yang menjadi dasar dari kepercayaan agama Islam. Takdir bersifat mutlak, benar adanya dan kita tidak bisa
menghindar darinya. Namun, takdir bisa diubah jika kita selalu berikhtiar dan berusaha.
Takdir itu bersifat
gaib dan tidak mudah dipahami oleh nalar manusia. Terlebih jika dikaitkan
dengan ikhtiar, yang terkesan saling kontradiksi. Takdir merupakan otoritas
Allah dan manusia tidak memiliki kebebasan, sedangkan dalam ikhtiar manusia
memiliki kebebasan. Ketika takdir menjadi sebuah ketetapan ilahi, di mana
posisi ikhtiar pada manusia? Sebenarnya, walaupun setiap manusia telah
ditentukan nasibnya, bukan berarti manusia hanya tinggal diam menunggu nasib
tanpa ada usaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha dan
dilarang berputus asa. Dengan arti lain, manusia dituntut untuk berusaha agar
memperoleh yang terbaik baginya. Berhasil atau tidak upaya yang dilakukan,
biarkan takdir yang berjalan.
Ulama menjelaskan
hubungan antara qadha dan qadar (takdir Allah) dengan ikhtiar, yaitu
dengan mengelompokkan takdir dalam dua macam: Takdir Mu’allaq dan Mubram.
Takdir Mu’allaq erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Takdir mendapat
upah dari sebuah pekerjaan erat kaitannya dengan ikhtiar yang berarti bekerja.
Adapun takdir Mubram terjadi pada diri manusia yang tidak dapat
diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Semisal takdir
dilahirkan dengan mata sipit, atau dengan kulit hitam, sedangkan ibu dan
bapaknya kulit putih dan sebagainya.
Dengan demikian, tidak tepat jika seseorang merasa pesimis sehingga melalaikan tugas sebagai hamba yang harus taat kepada Allah dengan landasan bahwa surga dan neraka telah ditentukan. Bisa jadi, karena keengganannya untuk beribadah itulah yang merupakan bagian dari jalan (ikhtiar) menuju takdir masuk neraka. Demikian pula ketika berbuat taat yang merupakan bagian dari ikhtiar menuju takdir masuk surga. Dalam basa ‘Umar bin Khathab, “Lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain”.
Dengan demikian, tidak tepat jika seseorang merasa pesimis sehingga melalaikan tugas sebagai hamba yang harus taat kepada Allah dengan landasan bahwa surga dan neraka telah ditentukan. Bisa jadi, karena keengganannya untuk beribadah itulah yang merupakan bagian dari jalan (ikhtiar) menuju takdir masuk neraka. Demikian pula ketika berbuat taat yang merupakan bagian dari ikhtiar menuju takdir masuk surga. Dalam basa ‘Umar bin Khathab, “Lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain”.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar