Cahaya Allah di Atas Hati

Cahaya Allah di Atas Hati
Jikalau hatimu gundah, Allah tempat menenangkan jiwa

Kamis, 30 Oktober 2014

Refleksi 3 : Antara Ikhtiar dan Takdir



Antara Ikhtiar dan Takdir

Terinspirasi oleh Perkuliahan Prof.Dr. Marsigit, M.A
Bidang Filsafat Ilmu
Pada hari Kamis, 16 Oktober 2014 (08.00 WIB)

Takdir adalah ketetapan Allah SWT terhadap garis hidup manusia. Percaya akan takdir yang datangnya dari Allah merupakan sebuah kewajiban, karena telah menjadi salah satu rukun iman yang menjadi dasar dari kepercayaan agama Islam. Takdir bersifat mutlak, benar adanya dan kita tidak bisa menghindar darinya. Namun, takdir bisa diubah jika kita selalu berikhtiar dan berusaha.                                   
Takdir itu bersifat gaib dan tidak mudah dipahami oleh nalar manusia. Terlebih jika dikaitkan dengan ikhtiar, yang terkesan saling kontradiksi. Takdir merupakan otoritas Allah dan manusia tidak memiliki kebebasan, sedangkan dalam ikhtiar manusia memiliki kebebasan. Ketika takdir menjadi sebuah ketetapan ilahi, di mana posisi ikhtiar pada manusia? Sebenarnya, walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, bukan berarti manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa ada usaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha dan dilarang berputus asa. Dengan arti lain, manusia dituntut untuk berusaha agar memperoleh yang terbaik baginya. Berhasil atau tidak upaya yang dilakukan, biarkan takdir yang berjalan.
Ulama menjelaskan hubungan antara qadha dan qadar (takdir Allah) dengan ikhtiar, yaitu dengan mengelompokkan takdir dalam dua macam: Takdir Mu’allaq dan Mubram. Takdir Mu’allaq erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Takdir mendapat upah dari sebuah pekerjaan erat kaitannya dengan ikhtiar yang berarti bekerja. Adapun takdir Mubram terjadi pada diri manusia yang tidak dapat  diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Semisal takdir dilahirkan dengan mata sipit, atau dengan kulit hitam, sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.                                                                            
Dengan demikian, tidak tepat jika seseorang merasa pesimis sehingga melalaikan tugas sebagai hamba yang harus taat kepada Allah dengan landasan bahwa surga dan neraka telah ditentukan. Bisa jadi, karena keengganannya untuk beribadah itulah yang merupakan bagian dari jalan (ikhtiar) menuju takdir masuk neraka. Demikian pula ketika berbuat taat yang merupakan bagian dari ikhtiar menuju takdir masuk surga. Dalam basa ‘Umar bin Khathab, “Lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain”.
***




Tidak ada komentar:

Posting Komentar