Kini, kurasakan getaran hebat itu. Seluruh ragaku
berteriak, batinku menjerit, ku rasakan jua apa yang engkau rasakan. Tiada air
mata yang berlinang, semua kini beku. Aku pun teringat penggalan lagu wali band:
Mungkin hanya bila ku mati,
kau kan berhenti tuk
menyakiti
Sampai kapan aku begini
Terus begini
Terus engkau lukai?
Ketahuilah
sahabat, mereka takkan pernah berhenti menyakiti sekalipun engkau mati. Bukan
lagi akal sehat, bukan lagi nurani yang mereka pegang, tapi... seperti yang
kita saksikan sendiri: Lautan darah yang kian meluas, dentuman meriam yang
memekakkan telinga dan ribuan nyawa...yang melayang sia-sia.
“Peluru
itu... mengenai dada Umi, Abi dan kakak-kakakku. Sekarang aku sebatang kara...”
Sayup-sayup suara Palestin membuat air mataku tak bisa tertahan. Timah panas
yang mereka lesatkan telah merenggut nyawa orang-orang yang Palestin cintai. Palestin,
gadis kecil itu menggenggam tanganku sangat erat di balik persembunyian kami.
Kala itu, tentara musuh tengah memblokade jalan satu-satunya yang bisa kami
lewati.
Sebenarnya,
tugasku hanya tinggal satu minggu, waktu begitu cepat, itu artinya aku dan Palestin
akan segera berpisah dan...mungkin kita takkan bisa bertemu kembali. Tapi,
kekuatan dan ketabahannya, mengurungkan niatku untuk kembali ke Indonesia. Aku
akan minta tambahan waktu agar bisa lebih lama dengan Palestin. Ia begitu tegar
menghadapi hidup ini, usianya baru sembilan tahun, tapi pemikirannya sudah
seperti gadis yang usianya jauh di atasnya. Mungkin karena keadaan yang
memaksanya menjadi anak yang kuat dan tangguh.
***
“Yakin kamu mau ke sana Bil? Setahuku, sudah
ada sepuluh mahasiswa pergi ke sana dan... delapan diantaranya ngga bisa balik
lagi ke sini. Aku dukung sih niatan baik kamu tapi, aku sebagai sahabat juga
wajar kan kalau khawatir sama kamu.”
“Karin,
kamu tenang aja. Aku akan baik-baik saja di sana. Yang penting, kamu selalu
doakan sahabatmu ini. Oke?” Aku memegang erat bahu Karin dan meyakinkan
niatanku ini. Ia sahabat terbaik yang pernah ku miliki. Sudah hampir delapan
tahun kita bersahabat, susah senang kita hadapi bersama. Wajar kalau dia sempat
tidak setuju kalau aku terbang ke Palestina. Maafkan sahabatmu ini Karin, aku
menyayangimu selalu. Apapun yang akan terjadi nantinya, aku ikhlas karena inilah
pilihanku, mengabdikan diri untuk saudara-saudara yang sangat memerlukan uluran
tangan kita.
***
Sesuatu yang luar biasa kini di depan mataku. Asap hitam
yang begitu pekat menyelimuti kota ini. Suara dentuman meriam saling
bersahutan. Aku lihat di ujung bukit itu... beberapa anak melempari tentara
yang berjajar di depannya dengan batu-batu kecil. Hatiku kian teriris saat
suara pistol yang begitu keras, nyatanya telah melesatkan timah panasnya dan
mengenai salah satu anak di atas bukit tersebut. Aku berteriak dan hendak
berlari menjemputnya. Tapi, salah seorang relawan mencegahku.
“Jangan,
jangan ke sana. Ini bahaya. Kejadian seperti ini sudah biasa. Ku mohon tetap di
sini.” Hamzah, ia juga relawan dari Indonesia yang benar-benar mengabdikan
hidupnya di kota ini, Palestin. Ia bergegas mencegahku saat aku ingin sekali
membawa pergi anak-anak dari bukit itu. Aku tidak bisa tinggal diam melihat
kekejaman di depan mata ini. Namun, selain Hamzah, beberapa orang juga
mencegahku agar tidak nekat ke sana.
“Ayo,
kembali ke base camp, kita para
relawan harus mengambil tindakan baru melihat situasi yang semakin genting
ini.” Hamzah, yang juga merupakan ketua dalam kegiatan kemanusiaan ini
menginstruksikan kepada para relawan lainnya untuk segera merapat. Aku pun
menurutinya sesekali mataku tak bisa lepas dari pemandangan yang mencengangkan itu.
Belum habis mata hatiku menyaksikan semua ini, tiba-tiba...
“Tunggu
Kak...!” Suara seorang gadis kecil, aku pun menoleh. Ada percikan darah di
wajahnya, juga bajunya. Ia memandangku lekat-lekat dengan mata yang
berkaca-kaca. Aku mendekati gadis itu dan mengusap percikan darah dari
wajahnya.
“Apa? Apa
yang sebenarnya terjadi padamu hai gadis kecil?”
“Mereka....Merekalah
yang membuat aku seperti ini. Mereka manusia terkutuk!” Gadis itu menunjuk pada
barisan tentara berseragam hijau pekat yang tak lain adalah tentara musuh.
“Siapa
namamu gadis cantik?” Aku menggendongnya dan ia mengalungkan tangannya pada
leherku. Ku rasakan detak jantungnya yang kian tak beraturan dan wajahnya mulai
pucat.
“Namaku Pa...Palestin.”
“Nama yang bagus. Palestin, aku akan segera
membawamu, agar lukamu bisa kami obati.” Beberapa menit kemudian, aku sudah
sampai basecamp, dan melihat anak
kecil dalam gendonganku, beberapa relawan langsung bertindak. Termasuk Hamzah
yang langsung menggantikan posisiku, ia meraih Palestin dan membaringkannya di
tempat perawatan.
***
Wajah Palestin kini bersih seperti semula, tapi
di pipi sebelah kirinya, ada tanda sayatan yang sangat kentara. Rupanya musuh
telah melukai wajahnya tepat dihari di mana orang tua dan kedua saudaranya meninggal karena lesatan timah panas tentara
Israel. Aku mengamati wajah Palestin yang berbinar, dia menggandeng tanganku
dan mengajakku ke suatu tempat. Ku biarkan langkahku mengikuti jejak anak kecil
itu pergi.
“Kita mau ke mana Palestin?”
“Nanti kakak Sabil juga akan tahu sendiri.”
Tegasnya sambil tersenyum lebar.
Beberapa menit kemudian...
Aku dan Palestin
tengah sampai di sebuah taman mini yang begitu indah. Ada warna-warna pelangi yang
dibentuk oleh puluhan bunga yang berjajar rapi di sekitar tempatku berdiri.
Wangi-wangian yang semerbak kian menambah eksotisme taman mungil ini. Di atas
taman itu ada sebuah bukit yang terlihat hijau nan asri. Tak menyangka,
ternyata di atas tanah konflik dua negara ini ada sebuah tempat yang begitu
indah seperti yang kini Palestin perlihatkan kepadaku.
Sejenak ku
nikmati kesegaran alam yang membawaku nyaman di dalamnya. Palestin berlarian ke
sana ke mari dan memberiku setangkai mawar biru yang begitu indah.
“Dulu aku
sering ke sini sama Abi dan Umiku.”
“Oh ya?
Hmmm....bagus sekali Palestin pemandangnnya. Lihat itu, kakak mau ke bukit itu.
Kamu mau ikut?” Palestin menggeleng dan aku memandangnya heran. Ada garis
kesedihan pada raut wajahnya.
“Kenapa Palestin?”
Ada sedikit perasaan bersalah menyelimuti hatiku karena anak itu kian tertunduk
lesu. Ia membalikkan badan lalu meninggalkan tempat ini. Aku semakin terheran
dan ku ikuti dia dari belakang sambil ku perhatikan baik-baik bukit itu dari
jauh.
Tiba-tiba....
Terdengar
suara brondongan meriam yang membuatku kaget setengah mati. Aku bingung dan tak
tahu harus melakukan apa.
“Kak, kita
harus segera pergi dari sini. Ayo ikut aku!” Tanpa basa-basi aku ikuti saja Palestin
pergi dengan hati yang sangat was-was. Inikah yang selalu orang-orang Palestin
alami? Tiada ketenangan hidup, semua terlihat kelabu dan mencekam. Aku
mendongakkan pandangan ke atas dan gumpalan awan hitam itu semakin pekat.
Rintik-rintik hujanpun turun dan membasahi tanah ini. Tak berapa lama kemudian,
kami tengah sampai di atas bukit yang ku pikirkan tadi. Bukannya ini bukit yang
aku tunjukkan pada Palestin tadi? Kenapa dia mengajakku bersembunyi di sini
kalau tadi Palestin terlihat sedih setelah ku ajak dia ke sini beberapa menit yang
lalu? Entahlah.
Di bawah
pohon besar ini, aku dan Palestin bersembunyi, sementara itu... tentara musuh
telah sampai di taman mini itu. Kami memperhatikan dengan seksama berharap
mereka tak temukan kami. Hujan kian deras dan ku lihat beberapa musuh mundur
dan beranjak pergi di sekitar tempat persembunyian kami. Ku lihat Palestin
menatap langit yang kini warnanya berubah kelabu. Ada air yang membasahi
wajahnya, tapi itu bukan karena hujan. Aku menengadahkan tangan dan menatap
langit, ia mengikuti gerakanku lalu tersenyum memandangku.
“Kakak
Sabil suka sama hujan?” ia lalu memulai pembicaraan. Aku hanya mengangguk lalu
mertangkulnya. Ia terlihat lebih tenang sekarang, begitu juga denganku.
“Benarkah
esok kakak akan kembali ke Indonesia? Jadi itu artinya, kita ngga bisa
sama-sama lagi donk kan?” Ada sinar penuh harap di mata Palestin, aku bisa
menangkapnya. Dia tak ingin aku meninggalkannya. Begitu juga denganku Palestin...
Aku juga tak ingin meninggalkan tempat ini. Tempat yang memberiku banyak
pelajaran. Pelajaran yang ku dapat dari dirimu, gadis kecil.
“Palestin,
jangan takut. Ada yang selalu menjagamu, menjaga kita.”
“Siapa?”
“Allah
SWT, benar begitu? Kamu jangan sedih.”
“Iya
kak... Tapi... apakah esok kakak masih bisa menjaga aku? Emm, kalau ngga juga
ngga apa-apa kak. Sekarang Palestin sudah tidak takut lagi, Palestin akan jadi
seorang pemberani seperti Abi.”
Aku menghela
nafas panjang dan berkata “Palestin, maaf...sepertinya besok... kakak ngga bisa
ninggalin kamu, kaka terlalu sayang sama kamu.” Aku mencubit pipinya.
“Artinya??”
ada rona bahagia yang menyelimuti wajah ayunya.
“Artinya,
kak Sabilla akan jagain kamu di sini dan esok ngga jadi pulang. Hehe...”
“Benarkah??
HOREEE.....!!” Teriaknya sambil melompat kegirangan.
Rintik-rintik hujan semakin memudar, sang
mentari kembali muncul ke peraduan, dan ku lihat di atas bukit ini, ada
lengkungan cahaya bertabur warna, warna yang menghibur hariku bersama Palestin,
si gadis kecil yang pemberani.
***
(never) ending story