Cahaya Allah di Atas Hati

Cahaya Allah di Atas Hati
Jikalau hatimu gundah, Allah tempat menenangkan jiwa

Kamis, 06 Februari 2014

Debu-debu Cinta



          Kini, kurasakan getaran hebat itu. Seluruh ragaku berteriak, batinku menjerit, ku rasakan jua apa yang engkau rasakan. Tiada air mata yang berlinang, semua kini beku. Aku pun teringat penggalan lagu wali band:
Mungkin hanya bila ku mati,
kau kan berhenti tuk menyakiti
Sampai kapan aku begini
Terus begini
Terus engkau lukai?
            Ketahuilah sahabat, mereka takkan pernah berhenti menyakiti sekalipun engkau mati. Bukan lagi akal sehat, bukan lagi nurani yang mereka pegang, tapi... seperti yang kita saksikan sendiri: Lautan darah yang kian meluas, dentuman meriam yang memekakkan telinga dan ribuan nyawa...yang melayang sia-sia.
            “Peluru itu... mengenai dada Umi, Abi dan kakak-kakakku. Sekarang aku sebatang kara...” Sayup-sayup suara Palestin membuat air mataku tak bisa tertahan. Timah panas yang mereka lesatkan telah merenggut nyawa orang-orang yang Palestin cintai. Palestin, gadis kecil itu menggenggam tanganku sangat erat di balik persembunyian kami. Kala itu, tentara musuh tengah memblokade jalan satu-satunya yang bisa kami lewati.
            Sebenarnya, tugasku hanya tinggal satu minggu, waktu begitu cepat, itu artinya aku dan Palestin akan segera berpisah dan...mungkin kita takkan bisa bertemu kembali. Tapi, kekuatan dan ketabahannya, mengurungkan niatku untuk kembali ke Indonesia. Aku akan minta tambahan waktu agar bisa lebih lama dengan Palestin. Ia begitu tegar menghadapi hidup ini, usianya baru sembilan tahun, tapi pemikirannya sudah seperti gadis yang usianya jauh di atasnya. Mungkin karena keadaan yang memaksanya menjadi anak yang kuat dan tangguh.
***
           
“Yakin kamu mau ke sana Bil? Setahuku, sudah ada sepuluh mahasiswa pergi ke sana dan... delapan diantaranya ngga bisa balik lagi ke sini. Aku dukung sih niatan baik kamu tapi, aku sebagai sahabat juga wajar kan kalau khawatir sama kamu.”
            “Karin, kamu tenang aja. Aku akan baik-baik saja di sana. Yang penting, kamu selalu doakan sahabatmu ini. Oke?” Aku memegang erat bahu Karin dan meyakinkan niatanku ini. Ia sahabat terbaik yang pernah ku miliki. Sudah hampir delapan tahun kita bersahabat, susah senang kita hadapi bersama. Wajar kalau dia sempat tidak setuju kalau aku terbang ke Palestina. Maafkan sahabatmu ini Karin, aku menyayangimu selalu. Apapun yang akan terjadi nantinya, aku ikhlas karena inilah pilihanku, mengabdikan diri untuk saudara-saudara yang sangat memerlukan uluran tangan kita.
***
            Sesuatu yang luar biasa kini di depan mataku. Asap hitam yang begitu pekat menyelimuti kota ini. Suara dentuman meriam saling bersahutan. Aku lihat di ujung bukit itu... beberapa anak melempari tentara yang berjajar di depannya dengan batu-batu kecil. Hatiku kian teriris saat suara pistol yang begitu keras, nyatanya telah melesatkan timah panasnya dan mengenai salah satu anak di atas bukit tersebut. Aku berteriak dan hendak berlari menjemputnya. Tapi, salah seorang relawan mencegahku.
            “Jangan, jangan ke sana. Ini bahaya. Kejadian seperti ini sudah biasa. Ku mohon tetap di sini.” Hamzah, ia juga relawan dari Indonesia yang benar-benar mengabdikan hidupnya di kota ini, Palestin. Ia bergegas mencegahku saat aku ingin sekali membawa pergi anak-anak dari bukit itu. Aku tidak bisa tinggal diam melihat kekejaman di depan mata ini. Namun, selain Hamzah, beberapa orang juga mencegahku agar tidak nekat ke sana.
            “Ayo, kembali ke base camp, kita para relawan harus mengambil tindakan baru melihat situasi yang semakin genting ini.” Hamzah, yang juga merupakan ketua dalam kegiatan kemanusiaan ini menginstruksikan kepada para relawan lainnya untuk segera merapat. Aku pun menurutinya sesekali mataku tak bisa lepas dari pemandangan yang mencengangkan itu. Belum habis mata hatiku menyaksikan semua ini, tiba-tiba...
            “Tunggu Kak...!” Suara seorang gadis kecil, aku pun menoleh. Ada percikan darah di wajahnya, juga bajunya. Ia memandangku lekat-lekat dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mendekati gadis itu dan mengusap percikan darah dari wajahnya.
            “Apa? Apa yang sebenarnya terjadi padamu hai gadis kecil?”
            “Mereka....Merekalah yang membuat aku seperti ini. Mereka manusia terkutuk!” Gadis itu menunjuk pada barisan tentara berseragam hijau pekat yang tak lain adalah tentara musuh.
            “Siapa namamu gadis cantik?” Aku menggendongnya dan ia mengalungkan tangannya pada leherku. Ku rasakan detak jantungnya yang kian tak beraturan dan wajahnya mulai pucat.
            “Namaku Pa...Palestin.”
“Nama yang bagus. Palestin, aku akan segera membawamu, agar lukamu bisa kami obati.” Beberapa menit kemudian, aku sudah sampai basecamp, dan melihat anak kecil dalam gendonganku, beberapa relawan langsung bertindak. Termasuk Hamzah yang langsung menggantikan posisiku, ia meraih Palestin dan membaringkannya di tempat perawatan.
***
Wajah Palestin kini bersih seperti semula, tapi di pipi sebelah kirinya, ada tanda sayatan yang sangat kentara. Rupanya musuh telah melukai wajahnya tepat dihari di mana orang tua dan kedua saudaranya  meninggal karena lesatan timah panas tentara Israel. Aku mengamati wajah Palestin yang berbinar, dia menggandeng tanganku dan mengajakku ke suatu tempat. Ku biarkan langkahku mengikuti jejak anak kecil itu pergi.
“Kita mau ke mana Palestin?”
“Nanti kakak Sabil juga akan tahu sendiri.” Tegasnya sambil tersenyum lebar.
Beberapa menit kemudian...
            Aku dan Palestin tengah sampai di sebuah taman mini yang begitu indah. Ada warna-warna pelangi yang dibentuk oleh puluhan bunga yang berjajar rapi di sekitar tempatku berdiri. Wangi-wangian yang semerbak kian menambah eksotisme taman mungil ini. Di atas taman itu ada sebuah bukit yang terlihat hijau nan asri. Tak menyangka, ternyata di atas tanah konflik dua negara ini ada sebuah tempat yang begitu indah seperti yang kini Palestin perlihatkan kepadaku.
            Sejenak ku nikmati kesegaran alam yang membawaku nyaman di dalamnya. Palestin berlarian ke sana ke mari dan memberiku setangkai mawar biru yang begitu indah.
            “Dulu aku sering ke sini sama Abi dan Umiku.”
            “Oh ya? Hmmm....bagus sekali Palestin pemandangnnya. Lihat itu, kakak mau ke bukit itu. Kamu mau ikut?” Palestin menggeleng dan aku memandangnya heran. Ada garis kesedihan pada raut wajahnya.
            “Kenapa Palestin?” Ada sedikit perasaan bersalah menyelimuti hatiku karena anak itu kian tertunduk lesu. Ia membalikkan badan lalu meninggalkan tempat ini. Aku semakin terheran dan ku ikuti dia dari belakang sambil ku perhatikan baik-baik bukit itu dari jauh.
Tiba-tiba....
            Terdengar suara brondongan meriam yang membuatku kaget setengah mati. Aku bingung dan tak tahu harus melakukan apa.
            “Kak, kita harus segera pergi dari sini. Ayo ikut aku!” Tanpa basa-basi aku ikuti saja Palestin pergi dengan hati yang sangat was-was. Inikah yang selalu orang-orang Palestin alami? Tiada ketenangan hidup, semua terlihat kelabu dan mencekam. Aku mendongakkan pandangan ke atas dan gumpalan awan hitam itu semakin pekat. Rintik-rintik hujanpun turun dan membasahi tanah ini. Tak berapa lama kemudian, kami tengah sampai di atas bukit yang ku pikirkan tadi. Bukannya ini bukit yang aku tunjukkan pada Palestin tadi? Kenapa dia mengajakku bersembunyi di sini kalau tadi Palestin terlihat sedih setelah ku ajak dia ke sini beberapa menit yang lalu? Entahlah.
            Di bawah pohon besar ini, aku dan Palestin bersembunyi, sementara itu... tentara musuh telah sampai di taman mini itu. Kami memperhatikan dengan seksama berharap mereka tak temukan kami. Hujan kian deras dan ku lihat beberapa musuh mundur dan beranjak pergi di sekitar tempat persembunyian kami. Ku lihat Palestin menatap langit yang kini warnanya berubah kelabu. Ada air yang membasahi wajahnya, tapi itu bukan karena hujan. Aku menengadahkan tangan dan menatap langit, ia mengikuti gerakanku lalu tersenyum memandangku.
            “Kakak Sabil suka sama hujan?” ia lalu memulai pembicaraan. Aku hanya mengangguk lalu mertangkulnya. Ia terlihat lebih tenang sekarang, begitu juga denganku.
            “Benarkah esok kakak akan kembali ke Indonesia? Jadi itu artinya, kita ngga bisa sama-sama lagi donk kan?” Ada sinar penuh harap di mata Palestin, aku bisa menangkapnya. Dia tak ingin aku meninggalkannya. Begitu juga denganku Palestin... Aku juga tak ingin meninggalkan tempat ini. Tempat yang memberiku banyak pelajaran. Pelajaran yang ku dapat dari dirimu, gadis kecil.
            “Palestin, jangan takut. Ada yang selalu menjagamu, menjaga kita.”
            “Siapa?”
            “Allah SWT, benar begitu? Kamu jangan sedih.”
            “Iya kak... Tapi... apakah esok kakak masih bisa menjaga aku? Emm, kalau ngga juga ngga apa-apa kak. Sekarang Palestin sudah tidak takut lagi, Palestin akan jadi seorang pemberani seperti Abi.”
            Aku menghela nafas panjang dan berkata “Palestin, maaf...sepertinya besok... kakak ngga bisa ninggalin kamu, kaka terlalu sayang sama kamu.” Aku mencubit pipinya.
            “Artinya??” ada rona bahagia yang menyelimuti wajah ayunya.
            “Artinya, kak Sabilla akan jagain kamu di sini dan esok ngga jadi pulang. Hehe...”
            “Benarkah?? HOREEE.....!!” Teriaknya sambil melompat kegirangan.
Rintik-rintik hujan semakin memudar, sang mentari kembali muncul ke peraduan, dan ku lihat di atas bukit ini, ada lengkungan cahaya bertabur warna, warna yang menghibur hariku bersama Palestin, si gadis kecil yang pemberani.

***
(never) ending story

TOM S'RIUS



Mendadak Tom Cruise
        Saat ini, jujur aku lagi setengah tertawa karena pikiranku terus  terganggu akan kedatangan seorang aktor Barat, Tom Cruise. Semua ini berawal dari acara tv yang tak sengaja aku tonton. Seseorang memainkan pistol dengan gaya laganya yang khas, lincah dan itu sangat keren. Ditambah lagi... wajahnya yang begitu tampan dan fisik yang athletis. Ngga tahu kenapa, aku langsung jatuh hati padanya, lebih tepatnya ng’fans sih.

I just want your smile
Coz your smile better than anything ^^

            Meskipun tuh film laga yang ia bintangi terbilang cukup menegangkan, tapi senyumnya selalu tak bisa lepas dari wajah tampannya. Wajar kalau tiba-tiba aku terkena virus merah jambu karenanya. Terlalu berlebihan ngga sih? Ngga lah, banyak kok orang yang mengalami gejala sepertiku ini.
            Salah satu film yang ia bintangi dan sempat menjadi sorotan publik yaitu Mission Imposible yang juga merupakan film trilogi. Masih terngiang dibenakku, Tom Cruise berperan sebagai Ethan Hunt dalam film tersebut. Gayanya itu lho yang aku suka dari dia. Enerjik!
***
Datangnya Tamu Special
Hari pertama di kampus... ngga ada bedanya menurutku. Di kampus sama di sekolahku yang dulu sama saja. Kalau di sekolah ada MOS, di kampus ada OSPEK. Dapat teman baru sudah pasti, pengajar baru? Iya jelas. Sama-sama serba baru. Bedanya satu doank, kalau di sekolah pakai seragam, di kampus bebas mau pakai baju mana aja. Seneng juga sih.
            Seperti kebanyakan mahasiswa baru, kami disuruh memperkenalkan diri masing-masing di depan ruang kuliah. Suruh juga menyebutkan motivasi masuk ke perguruan tinggi ini. Jujur, motivasiku sangat simple, ingin menuntut ilmu setinggi-tingginya dan aku ngga terlalu memikirkan: setelah lulus mau jadi apa? Haha. Nasib orang siapa yang tahu. Hanya berusaha dan doa. Penting!
            Acara perkenalan pun selesai, pelajaran baru akan segera di mulai. Namun, tiba-tiba saja terdengar suara pintu diketok dari luar. Dosen pun mempersilahkan masuk seseorang yang ternyata juga anak baru yang terlambat datang.
            “Silahkan perkenalan dulu mas.” Kata Pak Dosen. Aku masih sibuk mengeluarkan beberapa alat tulis dari dalam tas waktu itu sebelum akhirnya...
            “Perkenalkan, nama saya...Ethan...(bla-bla-bla)” seketika pandanganku tertuju pada mahasiswa baru tersebut karena sebuah nama yang tak asing lagi ditelingaku baru saja disebut. Ethan??. Dalam hati aku berteriak: “TOM CRUISE??!!! Dia ada di sini!!” Dia begitu mirip sama aktor barat itu. Dari cara ia tersenyum, bergaya... semuanya. Aku mencubit pipiku berkali-kali, ini mimpi bukan sih? Bukan, ini bukan mimpi. Idolaku ada di depan mata dan perlahan-lahan ia berjalan menuju kursi kosong di dekatku. Aku masih mendelik ke arahnya. Dan seperti gaya Tom, ia tebarkan senyum mautnya itu. Aku melihat sekeliling dan ternyata semua temanku juga terpesona akan ketampanan Ethan. Sekarang hatiku menjerit dan aku ingin sekali tertawa karena saat ini dia benar-benar duduk di samping kursiku.
            Benar saja, virus-virus merah jambu mulai lagi bertebaran di area pikiranku. Aku ingin sekali menyapanya tapi... aku tidak bisa. Aku kaku. Akhirnya, ku biarkan dia yang ...
            “Hai, aku Eth....”
            “Ethan Hunt!! Oke, aku June.” June?? Sudah pasti aku nglantur. June, dia lawan main Tom dalam salah satu filmnya.
Ku biarkan senyumku terkembang pagi ini, diiringi warna-warni pelangi yang menyejukkan hati. Aku ngga bisa ngebayangin hari-hariku selanjutnya, hari baru bersama Tom S’rius.
***
(½Fiktif-½Riil)