Cahaya Allah di Atas Hati

Cahaya Allah di Atas Hati
Jikalau hatimu gundah, Allah tempat menenangkan jiwa

Sabtu, 06 Oktober 2012

Gemilang di Langit Kelabu (1)


Gemilang di Langit Kelabu
Meski semua orang telah meninggalkanku, aku masih punya Allah, tempat berkeluh kesah segala sesuatu yang menimpa diriku saat ini . Beribu-ribu permasalahan datang silih berganti menghampiri hidupku. Mereka tak jenuh jua menghilang dari warna-warni hidupku. Tetapi semua itu tak menyurutkan niatku guna mengejar cita-cita, Hongkong, sebentar lagi aku akan merengkuhmu lewat sederet semangat yang harus ku sematkan dalam jiwa yang mulai merapuh dan aku harus segera bangkit dari kehidupan serba runyam ini. Jenuh??? Ya, setiap orang mungkin pernah mengalami kejenuhan, seperti aku, setiap pagi siang sore aktivitas ku hanyalah memungut sampah dari rumah ke rumah. Tak jarang, orang-orang di kompleks gubugku mennyebutku manusia sampah. Aku tak mempunyai tempat tinggal yang pasti. Terkadang di emperan toko, di pinggir jalan, dan yang paling sering ku jadikan kasur empuk untuk tidur...ya tumpukan sampah itu sendiri. Ngeri bukan??? Bagiku, itu sudah menjadi pemandangan yang biasa menghinggapiku setiap hari.  
Hingga saat ini, inilah aku, sendiri, hidup sebatangkara tanpa kasih sayang Ayah, Bunda, Bulik, Paklik, atau siapa sajalah. Hanya tinggal satu keluarga dekatku, Paklik Yahya yang rumahnya di seberang pulau. Jauh memang, maka dari itu, tak mungkin aku silaturahmi ke sana. Semua serba repot, tak ada uang, tak bisa pergi, terpaksa ku tunda niatku menjenguk Paklik di sana. Toh Paklik juga tak peduli dengan keadaanku sekarang. Buktinya, 2 tahun yang lalu sejak kepergian Ibu, jangankan menengok, telpon saja tak pernah. Padahal, hanya ini satu-satunya barang berhargaku yang Ayah hadiahkan kepadaku, HP jadul yang bisa dimanfaatkan jika aku membutuhkan sesuatu. Tapi, bagiku sama saja Yah, tak ada yang peduli denganku. Ya...mungkin hanya Si Badri yang setia menemaniku sms kala malam saat kejenuhan mulai menggelayutiku.
Hoohh...aku membuang nafas kala matahari tepat di atas ubun-ubunku, otak mulai mendidih karena memang sengatannya luar biasa, tak seperti biasanya. Aku kelelahan setelah seharian mengais-ngais sampah yang tak seberapa ku dapatkan hari ini. Entahlah, mungkin orang-orang mulai terketuk kesadarannya. Bisa saja mereka telah memisahkan sampah-sampah itu lalu menjualnya dan diprodulsi menjadi barang yang lebih bermanfaat , meski aku akan mengalami sedikit kerugian karena perlakuan mereka. Ya, tak apalah, setidaknya mereka tak lagi seenaknya melempar sampah, seperti yang pernah ku alami tempo dulu. Tragedi Perumahan Permai Pavil no.57, hampir saja merenggut nyawaku. Bayangkan, saat hendak mengambil sampah di depan rumah mewah itu, tiba-tiba pecahan botol minuman keras mendarat keras, tepat mengenai pelipisku. Benda itu terlempar dari dalam rumah megah itu, dan seketika aku terhuyung, darah mengalir deras hingga membasahi tubuhku. Kala itu, Ayah masih hidup, ia langsung membawaku ke klinik terdekat. Syukurlah, dokter bergerak cepat, sehingga nyawaku masih bisa tertolong meski 10 jahitan harus ku rasa dengan keperihan luar biasa. Ayah....jika ku ingat semua itu, tak dapat ku sembunyikan jika air mataku ikut menetes deras seperti darah yang pernah mengalir dan kau menyekanya dengan penuh kasih sayang. Saat ini, aku membutuhkan sosok sepertimu. Aku merindukanmu Yah.....
“Lang, kau harus katakan SELAMAT padaku, ayolah...mau tau kenapa??hahaha....”
“Paling juga si anak gedongan berambut pirang itu yang membuatmu tambah stress seperti ini. Setiap pagi siang sore pekerjaanmu melamun, senyam-senyum, sms an....mendingan bantuin aku. Noh, masih banyak sampah yang belum kau ambil ! huhh..ni anak”
“Rumah....Rumah Gemilang gimana? Udah kau angkut sampahnya?”
“Belum...khusus buat kau Dri. Kurang baik apa aku? Tak akan ku ambil sampah di rumahnya, itu sudah menjadi kewajibanmu kalau urusan yang satu ini.”
“Hahaha...bisa aja kau Lang.” Bdri menyenggol bahuku dan segera berlari menuju rumah gedongan milik pengusaha sapi perah yang anaknya ditaksir Si Badri. Sebut saja namanya Gemilang, cantik rupawan, mirip artis blasteran, Arumi Bachin. Cukuplah ia berjalan , semua orang terpukau melihat keanggunannya. Apalagi kalau tersenyum, hmmm...dijamin laki-laki manapun klepek-klepek dibuatnya. Termasuk Badri, haha...dasar tuh anak. Berani-beraninya ia sms dengannya, berbohong pula. Ngaku-ngaku aja jadi pengusaha sukses, eh, kenyataannya pengusaha amburadul. Aku tersenyum, cengar-cengir membayangkan tingkah temanku yang satu ini. Tapi, apapun itu kau Dri, kan ku selipkan namamu khusus di deretan awal kamus perjalanan hidupku. Aku kurang baik apa coba??!! Huuu.....
Bersambung ...