Cahaya Allah di Atas Hati

Cahaya Allah di Atas Hati
Jikalau hatimu gundah, Allah tempat menenangkan jiwa

Rabu, 12 November 2014

Refleksi 4 : Pandangan Filsafat Terhadap Kloning pada Manusia



Pandangan Filsafat Terhadap Kloning pada Manusia

Terinspirasi oleh Perkuliahan Prof.Dr. Marsigit, M.A
Bidang Filsafat Ilmu
Pada hari Kamis, 23 Oktober 2014 (08.00 WIB)

Di era globalisasi ini, banyak negara maju yang mengembangkan bioteknologi. Seperti ditemukannya berbagai macam teknologi seperti rekayasa genetika, kultur jaringan, DNA rekombinan pengembangbiakan sel induk, kloning, dan lain-lain. Teknologi ini memungkinkan kita untuk memperoleh penyembuhan penyakit-penyakit genetik maupun kronis yang belum dapat disembuhkan. Selain itu Hal – hal yang mendorong perkembangan bioteknologi ini adalah untuk meningkatkan mutu baik itu dalam bidang pangan, medis, maupun bidang kehidupan lainnya.
Bioteknologi secara umum berarti meningkatkan kualitas suatu organisme melalui aplikasi teknologi. Aplikasi teknologi tersebut dapat memodifikasi fungsi biologis suatu organisme dengan menambahkan gen dari organisme lain atau merekayasa gen pada organisme tersebut. Salah satu penerapan bidang bioteknologi yang sering dibicarakan orang yaitu Kloning.  
Jika kloning pada tanaman bertujuan menghasilkan tanaman baru yang memiliki sifat-sifat identik dengan induknya maka kloning pada tanaman akan menghasilkan individu baru yang sama dengan sifat induknya. Hal ini hal ini akan menurunkan keanekaragaman tanaman baru yang dihasilkan. Tentu hal ini akan menurunkan keanekaragaman tanaman baru yang dihasilkan. Akibatnya, keanekaragaman tumbuhan yang merupakan sumber daya alam hayati pun akan semakin menurun.
Demikian juga kloning pada hewan, akan menurunkan keanekaragaman hewan. Keanekaragaman genetik memainkan peran yang sangat penting dalam sintasan dan adaptabilitas suatu spesies, karena ketika lingkungan suatu spesies berubah, variasi gen yang kecil diperlukan agar spesies dapat bertahan hidup dan beradaptasi. Spesies yang memiliki derajat keanekaragaman genetik yang tinggi pada populasinya akan memiliki lebih banyak variasi alel yang dapat diseleksi. Seleksi yang memiliki sangat sedikit variasi cenderung memiliki risiko lebih besar. Dengan sedikitnya variasi gen dalam spesies, reproduksi yang sehat akan semakin sulit, dan keturunannya akan menghadapi permasalahan yang ditemui.
Kloning pada hewan dan manusia masih dipertentangkan karena akibat yang ditimbulkan seperti contohnya: resiko kesehatan terhadap individu hasil kloning. Beberapa kalangan berpendapat bahwa kloning manusia dapat disalahgunakan untuk menciptakan spesies atau ras baru dengahn tujuan yang bertentangan dengan nilai kemanusiaan. Lagipula, kloning pada mamalia belum sepenuhnya sempurna.
Teknik yang dipakai dalam kloning manusia dianggap tidak aman dan efektif. Hal ini justru dapat merendahkan martabat manusia karena resiko kerusakan masih sangat tinggi. Hal ini tidak etis karena hasil yang akan dicapai dengan program itu masih jauh lebih sedikit dibandingkan dengan resiko kerusakan yang dihasilkan oleh teknik kloning tersebut.
Ketidakadilan Sosial dan biaya yang dibutuhkan dalam kloning tentu akan sangat besar, dan hanya orang-orang kayalah yang mampu membuat kloning. Hal ini tentu akan semakin memperlebar jurang antara orang kaya dan orang miskin. Selain itu juga melanggar hak untuk dikandung secara natural. Setiap individu memiliki hak untuk dikandung secara natural oleh ibunya. Dalam kloning, terbentuknya embrio terjadi dibawah rekayasa manusia (tidak secara natural), dan terjadi tidak di dalam rahim seorang perempuan.

***

Kamis, 30 Oktober 2014

Refleksi 3 : Antara Ikhtiar dan Takdir



Antara Ikhtiar dan Takdir

Terinspirasi oleh Perkuliahan Prof.Dr. Marsigit, M.A
Bidang Filsafat Ilmu
Pada hari Kamis, 16 Oktober 2014 (08.00 WIB)

Takdir adalah ketetapan Allah SWT terhadap garis hidup manusia. Percaya akan takdir yang datangnya dari Allah merupakan sebuah kewajiban, karena telah menjadi salah satu rukun iman yang menjadi dasar dari kepercayaan agama Islam. Takdir bersifat mutlak, benar adanya dan kita tidak bisa menghindar darinya. Namun, takdir bisa diubah jika kita selalu berikhtiar dan berusaha.                                   
Takdir itu bersifat gaib dan tidak mudah dipahami oleh nalar manusia. Terlebih jika dikaitkan dengan ikhtiar, yang terkesan saling kontradiksi. Takdir merupakan otoritas Allah dan manusia tidak memiliki kebebasan, sedangkan dalam ikhtiar manusia memiliki kebebasan. Ketika takdir menjadi sebuah ketetapan ilahi, di mana posisi ikhtiar pada manusia? Sebenarnya, walaupun setiap manusia telah ditentukan nasibnya, bukan berarti manusia hanya tinggal diam menunggu nasib tanpa ada usaha dan ikhtiar. Manusia tetap berkewajiban untuk berusaha dan dilarang berputus asa. Dengan arti lain, manusia dituntut untuk berusaha agar memperoleh yang terbaik baginya. Berhasil atau tidak upaya yang dilakukan, biarkan takdir yang berjalan.
Ulama menjelaskan hubungan antara qadha dan qadar (takdir Allah) dengan ikhtiar, yaitu dengan mengelompokkan takdir dalam dua macam: Takdir Mu’allaq dan Mubram. Takdir Mu’allaq erat kaitannya dengan ikhtiar manusia. Takdir mendapat upah dari sebuah pekerjaan erat kaitannya dengan ikhtiar yang berarti bekerja. Adapun takdir Mubram terjadi pada diri manusia yang tidak dapat  diusahakan atau tidak dapat di tawar-tawar lagi oleh manusia. Semisal takdir dilahirkan dengan mata sipit, atau dengan kulit hitam, sedangkan ibu dan bapaknya kulit putih dan sebagainya.                                                                            
Dengan demikian, tidak tepat jika seseorang merasa pesimis sehingga melalaikan tugas sebagai hamba yang harus taat kepada Allah dengan landasan bahwa surga dan neraka telah ditentukan. Bisa jadi, karena keengganannya untuk beribadah itulah yang merupakan bagian dari jalan (ikhtiar) menuju takdir masuk neraka. Demikian pula ketika berbuat taat yang merupakan bagian dari ikhtiar menuju takdir masuk surga. Dalam basa ‘Umar bin Khathab, “Lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain”.
***




Rabu, 15 Oktober 2014

Refleksi 2 : Sejarah Filsafat pada Masa Plato, Aristoteles dan Immanuel Kant



Sejarah Filsafat pada Masa Plato, Aristoteles dan Immanuel Kant

Terinspirasi oleh Perkuliahan Prof.Dr. Marsigit, M.A
Bidang Filsafat Ilmu
Pada hari Kamis, 09 Oktober 2014 (08.00 WIB)


Plato mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada. Menurut dia, Objek filsafat yang ada dan mungkin ada itu bersifat tetap, misal pikiran. Plato lebih menekankan pada sifat idealisme.
Sedangkan Aristoteles memahami filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab – penyebab dari realitas yang ada. Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang yang berupaya mempelajari “peri ada selaku peri ada” (being as being) atau “peri ada sebagaimana adanya”. Menurut pandangan Aristoteles, objek filsafat yang ada dan mungkin ada sifatnya berubah. Hal ini bertolak belakang dengan pemikiran Plato yang mengatakan bahwa objek filsaat bersifat tetap.
Perbedaan pandangan antara keduanya tentunya menimbulkan berbagai polemik di berbagai daerah atau biasa disebut sebagai masa gelap. Pada masa ini, orang-orang tidak diperbolehkn untuk berpendapat, menyalurkan aspirasinya dan lain sebagainya. Hidup manusia dibatasi dan kebebasan pun diikat sehingga mereka hanya bisa pasrah.
Dalam keadaan yang semakin genting tersebut, munculah seorang pelopor baru yang memberikan secercah harapan dan pencerahan, dia adalah Immanuel Kant. Dia berpikiran bahwa sesuatu yang tidak mungkin ada, dijadikan mungkin olehnya. Kant juga menciptakan buku yang judulnya “The Critic of Pure Reason” untuk menanggapi situasi genting tersebut dan melalui buku itu juga, dia mencoba memberikan ruang kepada masyarakat untuk menyampaikan pendapat, ide secara bebas tanpa terbatasi oleh apapun. Menurut Kant, filsafat itu ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup di dalamnya empat persoalan, yaitu:
1.         Apakah yang dapat kita ketahui? (dijawab oleh metafisika)
2.         Apakah yang dapat kita kerjakan? (dijawab oleh etika)
3.         Sampai di manakah pengharapan kita? (dijawab oleh agama)
4.         Apa itu manusia ( dijawab oleh Antropologi ).

Disusun oleh:
Fitratul Wulan Fatmasuci (NIM. 14709251010 – PMAT.A)

Rabu, 08 Oktober 2014

Refleksi 1 : Hakekat Pernikahan dipandang dari Ilmu Filsafat




Hakekat Pernikahan dipandang dari Ilmu Filsafat

Terinspirasi oleh Perkuliahan Prof.Dr. Marsigit, M.A
Bidang Filsafat Ilmu
Pada hari Kamis, 02 Oktober 2014 (08.00 WIB)

            Pernikahan adalah sesuatu hal yang sakral dan merupakan ibadah seorang hamba kepada Tuhannya. Dengan menikah, hidup menjadi lebih tentram dan dapat menghindarkan kita dari perbuatan zina. Pernikahan seharusnya dilandasi dengan rasa cinta yang dapat menghantarkan kita pada cinta yang hakiki, yaitu Allah SWT. Karena hanya Dia yang menjadikan makhluknya berpasang-pasangan untuk menghasilkan keturunan yang tumbuh dengan dilandasi iman dan taqwa kepada Allah SWT.
            Pernikahan ada hubungannya dengan filsafat yang bersifat materiil, formal, normatif dan tingkatan yang paling tinggi nilainya adalah spiritual. Bentuk materiil dalam pernikahan yaitu bentuk nyatanya, misal harus ada yang dinikahkan. Bagaimana tidak? Bayangkan sebuah keluarga membuka hajatan pernikahan yang sangat besar dengan dekorasi ruang yang megah namun di sana tidak ada sepasang calon mempelai. Apa jadinya? Pernikahan pun tidak sah dan menurut pandangan filsafat, hal ini menunjukkan ketidaksopan seseorang terhadap ruang dan waktu.
            Jika dipandang dari segi normatif, dapat kita bagi menjadi tiga kategori yaitu filsafat antologi, epistimologi dan etik-estetika. Menurut ilmu estimologi, pernikahan harus didasarkan pada sumber-sumber tentang pernikahan. Dalam pernikahan beda suku misalnya, setiap mempelai harus mempelajari adat-istiadat masing-masing agar keduanya bisa melebur di lingkungan yang baru. Sehingga bisa diterima dengan baik di masyarakat.
            Pada tingkatan yang paling tinggi yaitu spiritual, kedua pasangan yang menikah meleburkan diri menjadi satu dalam bingkai ibadah pada Sang Khalik. Saling menghargai satu sama lain dan ikhlas menerima kelebihan maupun kekurangan masing-masing. Suami dan istri harus selalu menjaga keharmonisan rumah tangga, salah satunya adalah menjalin interaksi maupun komunikasi yang baik. Keduanya harus saling melengkapi dan siap menjalani kehidupan dalam suka maupun duka.

***